Selasa, 21 Agustus 2007

Rumitnya menggapai rencana penerimaan pajak


Rumitnya menggapai rencana penerimaan pajak
Oleh GUNADI Guru Besar FISIP UI dan mantan Direktur Perencanaan dan Potensi Pajak
Tujuan utama dari setiap sistem pajak dan lembaga pelaksananya adalah menghimpun sejumlah penerimaan yang cukup untuk membiayai komitmen pemerintah. Seberapa besar penerimaan tiap tahun yang dianggap cukup dan harus dihimpun sudah ditetapkan dalam UU APBN.
Namun, berbeda dengan yang sering terjadi selama ini, akhir-akhir ini beberapa surat kabar, termasuk Bisnis Indonesia (6 dan 18 Juli 2007), menulis realisasi penerimaan pajak yang belum mencapai target APBN.
Secara teoretis, Alex Radian (1980) menyatakan apabila sistem pajak belum mampu menghimpun penerimaan dalamjumlah yang cukup, selain dapat mengalami gangguan dalam penyediaan jasa publik (terutama pada sektor pendidikan, kesehatan dan transportasi). Pemerintah juga mungkin tidak mempunyai banyak kesempatan mengeluarkan pembiayaan dan investasi serta menyediakan dana tidak terduga.

Kelangkaan investasi akan mengganggu pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam harian Media Indonesia (3 Agustus 2007), Dradjad H. Wibowo menyebut beberapa penyebab penurunan penerimaan pajak, seperti (1) maraknya insentif pajak yang berlebihan, (2) anjloknya pembayaran pajak oleh wajib pajak kelas kakap, dan (3) terjadinya demoralisasi di internal Ditjen Pajak.
Konon, demoralisasi terjadi karena (1) seringnya rotasi personel, (2) ketidakpastian jabatan, dan (3) dipangkasnya berbagai kewenangan secara tidak proporsional melalui UU KUP. Sebagai salah satu negara belum kaya, sebagaimana dinyatakan oleh John F Due (1963), tentu selain berusaha membiayai ketersediaan jasa publik, Indonesia juga menempuh berbagai kebijakan untuk dapat memacu tingkat pertumbuhan ekonomi secara substansial agar dapat mengatrol tingkat kesejahteraan rakyatnya sejajar dengan negara yang lebih maju, dalam waktu yang tidak terlalu lama. Untuk memacu laju pertumbuhan tersebut, sesuai dengan kebijakan supplyside economic of taxpolicy selain penyediaan fasilitas perpajakan secara umum dan standar, berbagai desakan permintaan insentif juga dicoba untuk diakomodasi. Diharapkan, taxexpenditure dari insentif ini dapat direcovery pada periode mendatang dalam jumlah lebih besar melalui multiplier effect setelah perekonomian membaik.
Revenue generating Dalam buku Revenue Forecasting:Issues and Techniques, Jenkins dan Shukla (1996) menyebut tiga pendekatan perencanaan peneri maan pajak, yaitu (1) makro, (2) mikro, dan (3) inkremental.
Sepengetahuan penulis, selama ini perencanaan penerimaan pajak dari tahun ketahun dilakukan berdasarkan pendekatan inkremental karena lebih praktis dan pragmatis. Rencana penerimaan pajak suatu tahun (XI) didasarkan pada realisasi penerimaan tahun sebelumnya (X0) dengan penyesuaian terhadap (1) pertumbuhan ekonomi, (2) inflasi, (3) bunga, (4) nilai tukar, (5) harga dan produksi migas (untukPPh Migas), dan (6) potential gains/loss penerimaan pajak yang akan terjadi pada tahun XI.
Untuk meningkatkan kinerja Ditjen Pajak, antara lain terdapat administrative efforts yang dilembagakan dalam Revenue Generation Task Force (Tim Optimalisasi Penerimaan Pajak).
Sebagai contoh misalnya realisasi penerimaan tahun X0 Rpl20, pertumbuhan ekonomi tahun XI 6%, inflasi 6,5%, bunga 8% (tahun X0 9%),dan nilai tukar !US$=Rp9.100 (tahun X0 Rp9.200).
Dengan asumsi ceteris paribus dan elastisitas 1, pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi (growth adjustment) akan dapat meningkatkan penerimaan sebesar 12,89% (1,06 x 1,065). Dengan memerhatikan turunnya bunga 1% akan mengurangi pajak final bunga deposito dan turunnya nilai tukar US$ akan mengurangi PPh Pasal 26 dan Pajak dalam valas, kalau dajam tahun XI penerimaan pajak direncanakan naik 20% dari tahun X0 menjadi Rpl44.
Secara sederhana, Gugus Tugas harus dapat menghimpun penerimaan sebesar 7,21% (20-12,89). Untuk itu, Gugus Tugas melakukan ekstensifikasi (mencari WP baru dan sekaligus menggali potensi PPN, PPh Pasal 21/23/26 dan PPh Pasal 25) dan intensifikasi (pemeriksaan dan penagihan/pencairan tunggakan).
Selain itu, antara lain, harus pula dilakukan inventarisasi atas potensial toss (dari penghapusan WP dan proyek-proyek yang selesai tahun X0) dan penggalian potential gains (dari proyek-proyek dan sebagainya), dan upaya administratif (imbauan, pengawasan pembayaran dan pelaporan) untuk mempertahankan elastisitas growth adjustment.
Sisi kepatuhan Alex Radian (1980) menyatakan jumlah penerimaan pajak yang berhasil dihimpun sistem pajak merupakan fungsi dari kebijakan dan implementasi. Kebijakan dipengaruhi oleh nilai-nilai politik (seberapa besar porsi PDB yang akan ditarik pemerintah, seberapa banyak yang tersedia untuk ditarik, kesejahteraan masyarakat dan struktur politik) dan feasibilitas penarikan pajak.
Di negara yang belum kaya, dengan masih banyaknya rakyat miskin tidak mudah memungut pajak. Hanya sedikit obyek yang dapat dikenakan pajak yang dapat memberikan penerimaan potensial. Feasibilitas politik terhambat oleh dominasi beberapa kelompok kepentingan bisnis.
Akibatnya, tidak mudah mengenakan pajak pada penduduk miskin dan lebih tidak mudah lagi mengenakan pajak dari yang kaya karena secara politis mereka berpengaruh. Kebijakan pajak yang memadai tidak mudah diformulasikan (misalnya UU KUP), lebih tidak mudah lagi implementasinya karena resistensi banyak terdapat di mana-mana.
Sementara itu, implementasi merupakan fungsi dari magnitude tugas (tingkat kepatuhan masyarakat, kesederhanaan dan stabilitas kebijakan) dan sumber daya yang tersedia (SDM, ahli, data dan informasi serta aksesnya).
Tingkat kepatuhan Dalam setiap sistem pajak, tingkat kepatuhan wajib pajak memengaruhi jumlah penerimaan pajak, terlebihlebih dalam sistem self assessment. Kepatuhan sukarela merupakan tulang punggung sistem self assessment.
Dalam beberapa literatur, tiga pendekatan pendorong kepatuhan dapat ditempuh, yaitu (1) stringent enforcement, (2) excellent services, dan (3) services and selective enforcement.
Pada akhir-akhir ini Ditjen Pajak merubah paradigma pendorong kepa.. tuhan dengan memperkenalkan modern tax offices (large, medium dan small) untuk memberikan pelayanan prima dan penyediaan account representatives.
Pemikiran yang mendasari pelayanan prima adalah bahwa dengan semakin baiknya pelayanan, insya Allah kepatuhan wajib pajak juga akan semakin meningkat. Namun sayangnya, dari berbagai penelitian di berbagai negara (tidak termasuk Indonesia) pemberian pelayanan kurang sejalan dengan peningkatan kepatuhan wajib pajak.
Kalau kepatuhan menurun, dengan asumsi ceteris paribus, maka penerimaan pajak juga akan menurun.
Sumber : Bisnis Indonesia, 20 Agustus 2007

1 komentar:

Republik Kumprun mengatakan...

om...om...om...susah mana ama menggapai bulan ;p

 

© blogger beta templates | Webtalks